Saturday, August 23, 2014

[REVIEW] Marriageable

(Ini pertama kalinya aku membuat sebuah review buku di blog. Sangat sulit untuk memulai, karena aku sudah lama tidak me-review buku, jadi aku bingung apa saja yang harus ditulis. Terakhir kali aku meresensi buku adalah saat aku kelas 3 SMP, dalam rangka mengikuti lomba. Haha. Jadul amat ya. Semoga tulisan berikut ini tidak melenceng dari genre-nya: review.)


Judul: Marriageable
Penulis: Riri Sardjono
Editor: Windy Ariestanty
Penerbit: Gagas Media
Tebal buku: x + 358 hlm
Dimensi: 13 x 19 cm
Terbit: 2013

“Part of me ngerasa…kurang beruntung karena belum menemukan jodoh. Tapi another part of me ngerasa beruntung karena hidup gue masih bebas.” (hlm 47)

Flory dan Vadin, dijodohkan oleh orang tua mereka di usia yang sudah menginjak kepala tiga. Tak banyak yang terjadi setelah perkenalan mereka di rumah Flory. Tak ada drama percintaan ala ABG, perasaan berdebar-debar setiap kali bertemu, maupun acara kencan romantis. Semua mengalir begitu saja. Mengalir, apa adanya, tanpa komitmen.

Siapa sangka hubungan ‘apa adanya’ seperti itu akan berakhir di pelaminan? Tapi itulah yang terjadi antara Flory dan Vadin. Tiba di sepertiga cerita, dikisahkan bahwa mereka memutuskan untuk menikah. Sebenarnya, bisa dibilang cerita “Marriageable” ini baru dimulai saat kedua tokoh utama akhirnya menikah. Inti ceritanya bukan tentang bagaimana kebahagiaan tercipta di dalam pernikahan mereka, namun tentang bagaimana menyatukan perbedaan yang mereka punya dalam satu ikatan sebagai suami-istri dan bagaimana kita ‘ditampar’ dengan berbagai ketakutan Flory yang mungkin serupa dengan ketakutan kita sebagai wanita dewasa yang masih lajang.

Beruntungnya si tokoh utama, Flory, mempunyai teman-teman yang (kulihat) berperan sebagai safety net-nya. Yeah, that what friends are for, huh? :)

Saat Flory sedih, kata-kata teman-temannya mampu menguatkannya. Saat tindakan Flory seakan hendak keluar batas, mereka mengingatkannya. Teman-teman Flory adalah humor di tengah tangis dan alarm bagi tindakannya. Aku suka bagaimana percakapan antara Flory dan teman-temannya, meski kadang vulgar namun apa adanya. Benar-benar percakapan antara orang-orang yang mempunyai kedekatan emosional.

Pertama kali aku melihat tweet promo buku ini di media sosial, aku langsung tertarik, seakan ada magnet yang menarikku untuk membaca cerita dalam setiap lembarnya. Mulai hari itu, aku pun resmi naksir pada buku ini.

Beberapa bulan setelahnya, aku pun membelinya. Firasatku tepat! Buku ini sangat membantuku. I’m in love with this story, officially. Aku suka betapa detil si penulis menjabarkan ketakutan terdalam wanita lajang yang mengalami trauma dan bagaimana dia (tokoh utama) mengenali serta berdamai dengan ketakutannya step by step.

Misalnya ketika terjadi percakapan dengan tokoh utama yang baru kusadari kemudian bahwa aku juga memiliki ketakutan itu:

“Apa yang elo takuti, Flo?”
“Sakit.”
“Percaya sama gue, apapun tujuannya, pada akhirnya semua orang yang kawin emang cuma saling menyakiti.”
(hlm 71)

Kamu enggan menikah? Mungkin karena kamu takut setelah menikah kamu akan disakiti.

“Kamu pikir aku gila?”
“Aku pikir kamu sangat menderita karena ketakutan kamu.”
(hlm 140)

Ya, orang yang merasa takut berkepanjangan pasti menderita. Percaya deh.

“Apa yang kamu takuti?”
“Berhenti dicintai.”
(hlm 296)
  
Another fear. Selain merasa takut disakiti, ada pula rasa takut berhenti dicintai.

Atau betapa dilemanya seorang wanita lajang di usia 30an saat dihadapkan dengan pilihan menikah atau tidak:

“Kadang gue pikir, gue nggak pengin kawin. Tapi kadang gue ngerasa itu nggak normal dan seharusnya gue emang kawin. Tapi gue takut sakit kalau gue kawin. Tapi gue juga takut kesepian kalau gue nggak kawin.” (hlm 75)

Damn banget deh bagian ini. Nohok. Btw, kalimat di halaman 47 yang kutulis paling atas tadi juga ‘gue banget’. Makanya kutaruh paling awal, yang berarti: paling berkesan.

Tapi kemudian perkataan teman Flory ikut menyadarkan kita bahwa seharusnya ketakutan bukanlah halangan bagi kita untuk merasa bahagia:

“Fokus sama apa yang elo mau raih dalam hidup lo, bukan sama ketakutan lo.” (hlm 75)

Here the magic word: FOCUS.

Dan inilah yang menjadi harapan semua orang yang menginginkan pernikahan:

“Gue pikir kalau udah kawin gue nggak bakalan kesepian lagi.” (hlm 81)

Benarkah pernikahan adalah penawar kesepian?

Tapi mungkin memang benar, marriage is just another stage of life. Kesepian dan ketidakbahagiaan mungkin saja bisa muncul di dalam pernikahanmu, karena ya itu tadi, it’s just another stage of life. Pernikahan bukanlah akhir dari sebuah cerita kehidupan. Tapi, kita kan tetap bisa enjoy dengan segala tetek bengek rintangan hidup yang menghadang. Bukankah itu poin pentingnya? Life isn’t about waiting for the storm to pass, it’s about dancing in the rain.

Dan jangan melupakan satu saran bijak dari mamanya Flory, yang harus kuakui, membuatku menepuk jidatku sendiri karena terkadang aku gelap mata saat menghadapi masalah:

“Jalan buntu, Mamz.”
“Kalau begitu putar balik, Sayang.”
(hlm 286)

Ada banyak huruf dalam alfabet. Jika rencana A gagal, masih ada 25 huruf lain.

Novel yang satu ini memang rada berat, isinya ‘makanan’ orang dewasa semua (ya nggak semua sih). Harus ‘mencerna’ terlebih dahulu apa yang barusan dibaca, baru bisa mengerti. Jadi untuk aku yang masih awam dalam hal pembicaraan orang dewasa, butuh waktu sampai satu minggu sebelum akhirnya novel ini benar-benar selesai kubaca sampai tuntas.

Setelah selesai melahap habis semua isinya, aku menemukan beberapa kemiripan antara aku dan Flory, seperti misalnya kami suka bilang “kampret” (apaan lah kayak gini diomongin juga, Fa), sama-sama demen yoga. Dan jika di dalam buku ini ceritanya Flory adalah seorang arsitek, dalam kehidupan nyata arsitektur adalah bidang yang tak pernah bisa kupelajari dalam pendidikan formal. Haha.

So, kenapa aku suka buku ini? Selain karena isinya secara tidak langsung menjabarkan ketakutan terdalam dari seorang wanita yang pernah terluka, juga karena di buku ini dijelaskan bahwa lebih baik kita menikah bukan semata-mata karena kematangan sperma dan kantong rahim saja tapi lebih karena kedewasaan mental (duh, aku lupa nih kalimat yang menjelaskan ini ada di halaman berapa).

Aku juga suka cara si penulis menyelipkan kalimat:

“Cocok! Dilihat dari mana? Gunung Kidul?” (hlm 57)

Please, dulu rumahku di Gunung Kidul. Terus apa hubungannya sama kalimat barusan? Nggak ada. Hanya saja aku merasa geli. Kira-kira ada yang tahu nggak ya, Gunung Kidul itu ada di mana? LOL.

Dan banyak lagi kalimat humor menggelitik yang membuat kita tak tahan untuk tertawa, atau setidaknya tersenyum geli saat membacanya. Satu lagi, gaya percakapan Flory dan teman-temannya yang lugas itu gue banget! I love them to be my real friends.

Tapi ada satu bagian dalam buku ini yang menggangguku, yaitu saat "pesta topeng". Setelah suasana yang dibangun sedari awal begitu dewasa, kenapa lantas ada pesta topeng? Apa orang-orang dewasa di kota metropolitan masih melakukan hal semacam itu di usia mereka? It really makes me wonder.

Over all, aku merekomendasikan buku ini untuk kalian yang sedang bingung mencari-cari jawaban “kenapa harus menikah” atau “apakah aku harus menikah atau tidak”. Setidaknya kalian akan dapat memahami beberapa hal yang sebelumnya sulit dipahami.


No comments:

Post a Comment