Wednesday, January 21, 2015

[Review] The Reveter, Si Pengelola Mimpi


Judul buku: The Reveter
Penulis: Frida Kurniawati
Editor: Elizabeth
Penerbit: Elf Books
Tahun terbit: 2013
Tebal: 236 hlm

“Karena memiliki kalung Convoera berarti mempunyai sebuah tugas yang harus dilakukan, yaitu menemukan pasangannya. Dan itu adalah harga mati, apalagi kalau kau adalah keturunan ke-2562.” - hlm 98

Setelah ditinggalkan kakek dan neneknya secara misterius, Hydra harus berhadapan dengan kakak beradik Radon dan Calsina yang menyebut diri mereka sebagai reveter, pengelola mimpi. Lebih mengejutkan lagi, mereka mengatakan bahwa Hydra adalah keturunan reveter ke-2562 yang memiliki kalung Convoera. Itu artinya dia harus menemukan pemilik kalung Convoera yang satunya lagi untuk menghentikan permusuhan antara pengikut Argento dan Auri. Tapi ada kekuatan jahat yang tidak menghendaki perdamaian terjadi dan berusaha mencegah mereka menemukan si pemilik kalung Convoera yang mereka cari. Bagaimana cara mereka lolos dari ancaman kekuatan jahat yang terus mengintai mereka? Berhasilkan Hydra dan yang lainnya menemukan orang yang dimaksud dan menggabungkan kedua kalung Convoera? Tapi…bagaimana jika mereka tidak mampu menemukan orang itu?

“Jika dua orang pemilik kalung Convoera yang merupakan keturunan ke-2562 dari Argento dan Auri memilih untuk bersatu, maka hutang darah di antara mereka akan dihapuskan; kekuatan jahat juga bisa dikalahkan, dilenyapkan dari muka bumi.” - hlm 66
***

Harus kuakui Frida Kurniawati selaku penulis novel fantasi ini mempunyai tingkat imajinasi yang cukup rumit, mengingat bahwa dia sebenarnya adalah mahasiswi Teknik Fisika (dan sepertinya dia memang cinta mati dengan Fisika, haha). Eh, bagaimana aku bisa tahu? Itu karena dia mengadakan giveaway beberapa waktu lalu dan buku ini adalah salah satu hadiah GA-nya (aku pernah cerita sedikit di postingan Perjalanan Bersama Blogku).

Ngomong-omong tentang fantasi, kamu tak akan menyadari betapa kompleksnya fantasi yang kamu bangun sampai kamu berhenti berfantasi dan menilik ke belakang, ke awal. Karena berfantasi itu susah mulainya tapi sekali sudah dimulai maka kamu akan sulit untuk berhenti. Jadi, tahu-tahu fantasimu sudah berkembang kemana-mana dan akhirnya kamu hanya bisa berkata, “Ya ampun, aku tidak percaya bisa memikirkan semua hal impossible kayak gini.” (Apa deh aku ini :| )

Ada beberapa hal yang kusuka dan kuperhatikan dalam novel ini:

1. Ceritanya Rapi
Satu hal yang pertama kali kusadarai dalam novel ini yaitu kerapian ceritanya. Menurutku tak ada bagian yang keluar dari ide cerita pokok, apa yang diceritakan pun tidak berlebihan. Untuk para penulis pemula, biasanya cerita fantasi yang mereka buat mempunyai beberapa bagian yang diceritakan dengan fantasi berlebihan, sehingga kesannya norak. Tapi aku tidak merasakannya di novel ini. Jadi bisa kukatakan bahwa novel ini fantasinya tidak lebay, semua logika cerita pun tertata rapi. Cerita ini juga mempunyai unsur roman, tapi sedikit sekali. Menurutku itu tidak masalah, aku malah senang. Karena dari awal hingga akhir, ceritanya benar-benar berkutat pada ide pokok cerita, bukannya menyimpang pada cerita roman. Dan meskipun ada cerita roman, keberadaannya tidak mengganggu dan hanya sebagai pemanis saja.

Aku kerap kecewa pada buku/film (lebih seringnya film sih) yang isi ceritanya tidak sesuai dengan judulnya. Seperti misalnya drama Korea yang judulnya Fashion King. Dari judulnya pasti kita akan membayangkan bahwa isi filmnya tentang fashion. Memang tentang fashion, tapi sedikit dan kurang kuat, malah kebanyakan cerita cinta segitiga. Alhasil aku sebagai penonton merasa antara judul dan isinya tidak sinkron. Ah, malah curcol. :p

Sedangkan pada novel The Reveter ini, penilaianku antara judul + isi + jalan cerita = sinkron ;) 

FYI, aku selalu merasa berterimakasih pada penulis buku maupun film yang telah membuat plot cerita tetap berada di jalurnya dan tidak mencampurkan dengan terlalu banyak kisah roman, hanya karena kisah roman lebih laku di pasaran. Hei, kalian menulis bukan hanya untuk menyenangkan orang lain! (Provocation detected >=) )

2. Klimaksnya Seru
Seperti biasa, novel fantasi selalu sukses membuatku kebingungan di awal, karena banyak hal/istilah baru yang diperkenalkan di awal cerita. Tapi semua terlupakan ketika aku tiba pada klimaks cerita, bagian genting dari pencarian para reveter. Aku benar-benar menikmati bagian kucing-kucingan dan perkelahian itu. Haha. Seru banget, serius! Aku bahkan membaca sangat cepat pada bagian ini (klimaks), lebih cepat daripada bagian lain (awal dan akhir). Seharusnya cerita yang menegangkan seperti itu diperbanyak, biar lebih nampol! :D

3. Suasananya Luar Negeri Banget
Dari awal suasana luar negeri itu sudah kurasakan. Ketika mulai membaca aku sudah berpikir, “Sepertinya ini bukan di Indonesia.” Kemudian muncul tokoh-tokoh lain dengan setting-nya, “Fixed rasanya bukan di Indonesia nih!” (Aku pernah menyinggung tentang suasana cerita di postingan [Review] Bintang Jindo, bahwa jika pembaca bisa ikut merasakan suasana cerita berarti penulis telah berhasil membangun latar suasana dengan baik.) Membaca novel ini memberikanku “rasa” yang sama seperti membaca novel-novel terjemahan. (y)

4. Nilai Moral
Meski berjenis fantasi, bukan berarti novel ini tak punya nilai moral. The Reveter tetap punya nilai moral kok, tapi mungkin tidak terlalu ditonjolkan. Entahlah, menurutku penampakan nilai moralnya kurang kuat (atau mungkin aku yang salah menilai?). Nilai moral yang kumaksud di sini adalah: mau jadi seperti apa kita, itu tergantung pilihan yang kita ambil. Keadaan bisa berubah-ubah, baik dan buruk, tapi sikap kita tetap kita yang menentukan. Dalam keadaan yang buruk sekalipun kita tetap mempunyai pilihan untuk bersikap baik, dan sebaliknya.

Jika pada novel kategori young adult atau novel-novel lain komentar yang harus diperoleh penulis dari pembaca adalah “bijak”, “bagus” atau “keren”, maka untuk novel berjenis fantasi komentar yang harus diperoleh penulis dari pembacanya hanya satu: “Seru!”. Dan…oke Frida, untuk novelmu ini menuruku…“Seru!”

Tapi, tapi, tapiii…bukan berarti tak ada kritik sama sekali untuk novel ini. Kritik tetap ada kok, tenang saja. :p

Pertama, aku agak terganggu dengan keberadaan “Badan Usaha Milik Negara” yang disebutkan di salah satu bagian cerita. Sejak awal cerita aku sudah mencium ‘bau’ latar luar negeri, tapi kemudian 4 kata itu muncul dan mengacaukan segalanya (oke, aku lebay). Menurutku Badan Usaha Milik Negara itu nama yang “Indonesia” banget. Jika memang ingin membangun latar luar negeri, sebaiknya gunakan nama lain seperti Kantor Urusan Negara Bagian (eh ngaco namanya), Kementrian Luar Negeri, atau apa lah, pokoknya nama umum yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia tetap berasa taste luar negerinya. Berita bagusnya sih nama BUMN itu hanya muncul sekali dan tidak berperan penting dalam ide pokok cerita.

Kedua, aku menemukan beberapa kata “cowok” di dalam novel ini. Aneh? Tidak, jika novel ini berlatar Indonesia atau semua sebutan dalam cerita diseragamkan menjadi “cowok”, tapi nyatanya novel ini mencampur sebutan “cowok” dan “laki-laki”. Menurutku taste-nya akan lebih bagus jika semua sebutannya diubah menjadi “laki-laki”, akan lebih terasa suasananya di luar negeri. Coba perhatikan novel-novel terjemahan, sebagian besar (atau bahkan semuanya?) menggunakan kata “laki-laki” atau “pria”, tak ada kata “cowok” di sana. So…does it make sense for us? :)

Ketiga, ada satu bagian yang terasa hambar bagiku. Saat Radon mengumpulkan semua reveter di rumahnya pagi-pagi buta, jelas terasa bahwa mereka mengeluh dan bersungut-sungut. Tapi ketika mereka akhirnya disuruh pulang, kok tidak ada reaksi? Kan anyep (dingin; jika digunakan dalam hal rasa, artinya hambar). Sebaiknya ada ungkapan lega karena akhirnya bisa pulang dan melanjutkan istirahat, atau keluhan karena mereka ternyata hanya membuang waktu sia-sia di sana. Aku yakin jika bagian itu ditambahkan akan terasa lebih greget, kan ceritanya suasananya lagi tegang.

Over all, novel The Reveter ini pas banget; dengan 236 halaman, penulis mampu mengemas pengenalan cerita hingga klimaks dan ending dengan pas. Selain itu tokohnya juga tidak terlalu banyak, sehingga untuk mengenalkan maupun “menghilangkan” mereka dari cerita tidak membutuhkan terlalu banyak halaman. Pokoknya untuk yang satu ini, pas deh.

Meski sudah terasa “pas”, masih ada banyak hal yang sebenarnya bisa dibuat lebih baik lagi. Menurutku untuk novel fantasi atau yang berbau petualangan, 200 halaman itu sangat kurang. The Reveter ini sudah bagus secara plot, tapi 200 halaman itu tanggung. Jika saja halamannya ditambah, aku yakin penulis bisa lebih mengembangkan cerita dan membangun konflik yang lebih kompleks, sehingga keseluruhannya bisa lebih apik. Serius. (Terus pembaca demo, “Tambahin halamannya! Tambahin halamannya! Tambahin halamannya!” Tapi yang demo cuma satu orang =D )

Selain itu, dengan menambah halaman (memperpanjang cerita) penulis dapat membangun fantasi yang lebih kuat. Dalam novel ini ada bagian-bagian tertentu yang mengingatkanku pada beberapa hal. Aku bisa bilang itu hanya kebetulan atau penulis memang terinspirasi dari hal itu, salah satunya adalah ide cerita pokok (Frida, I know you understand what I mean, I love that movie too :) ). Tapi yang jelas, untuk bisa lepas dari bayang-bayang “hal lain” itu penulis harus membangun cerita yang kuat. Jika tidak, maka cerita itu pada akhirnya hanya akan diingat sebagai “cerita yang mirip dengan cerita lain”, bukannya “cerita yang mengesankan”. Aku yakin bahwa semua penulis sepakat menginginkan opsi kedua yang kusebutkan barusan.

Akhir kata, terlepas dari segala macam kritik dan keluhan yang kuberikan, aku tetap memberi penilaian “Seru!” untuk The Reveter. Kamu sudah baca novel ini, belum? ;)

Dari awal mula, manusia memiliki dua sisi dalam dirinya, sisi terang dan sisi gelap. Setiap manusia berpotensi menjadi orang baik atau jahat, tergantung pilihannya. - hlm 39


2 comments:

  1. hmm, mantap nih reviewnya.
    bikin penasaran =))

    ReplyDelete
    Replies
    1. o ya? bagus lah kalo ada yg tertarik sama review ini :)

      Delete